## Amuk Generasi Muda Nepal: Kemarahan Digital yang Menumbangkan Perdana Menteri
Nepal, negeri di kaki Gunung Himalaya, baru-baru ini diguncang oleh gelombang protes besar-besaran yang berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma Oli, seorang figur berpengaruh berusia 73 tahun. Protes yang awalnya dipicu oleh larangan media sosial – sebuah kebijakan yang dengan cepat dicabut – sebenarnya merupakan puncak dari kemarahan dan frustrasi mendalam yang telah menumpuk selama bertahun-tahun di kalangan generasi muda Nepal. Mereka, generasi yang melek teknologi dan terhubung secara digital, merasa terpinggirkan oleh sistem politik yang dianggap korup, stagnan, dan tak mampu memberikan peluang yang layak. Protes ini menelan korban jiwa setidaknya 19 orang, dengan demonstrasi yang berujung pada pembakaran gedung parlemen dan sejumlah kantor pemerintahan.
Kejadian ini bukan sekadar demonstrasi biasa; ini adalah manifestasi dari kekecewaan mendalam terhadap berbagai faktor yang secara sistematis telah menghambat kemajuan dan kesejahteraan generasi muda Nepal. Artikel ini akan mengulas secara mendalam akar penyebab ketidakstabilan politik yang berujung pada jatuhnya pemerintahan Oli.
**Krisis Ekonomi yang Membebani Generasi Muda**
Salah satu akar permasalahan utama adalah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bank Dunia mencatat angka yang mengkhawatirkan: 82% angkatan kerja Nepal bekerja di sektor informal. Ini berarti mereka kekurangan perlindungan sosial dasar seperti jaminan kesehatan dan asuransi, kondisi yang sangat berbeda dengan standar negara-negara maju. Situasi ini semakin diperparah oleh ketergantungan yang tinggi pada pengiriman uang dari warga Nepal yang bekerja di luar negeri. Meskipun pengiriman uang ini menyumbang sepertiga PDB Nepal dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, hal ini belum berdampak signifikan pada terciptanya lapangan kerja berkualitas di dalam negeri. Ironisnya, media sosial, yang kemudian dilarang, menjadi alat vital bagi para pekerja migran untuk tetap terhubung dengan keluarga mereka di Nepal.
Generasi muda, yang mencakup lebih dari 12 juta orang atau hampir 43% dari total populasi (menurut definisi pemerintah, usia 16-40 tahun), menghadapi persaingan yang ketat dalam mencari pekerjaan. Dengan sekitar 500.000 pemuda memasuki angkatan kerja setiap tahunnya, kebutuhan akan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan bermartabat semakin mendesak. Kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas menjadi salah satu pemicu utama protes. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai.
**Korupsi: Luka Menganga dalam Sistem Politik Nepal**
Tingkat korupsi yang tinggi di Nepal, yang menempati peringkat 107 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi Transparency International, semakin memperparah situasi. Ketidakpercayaan publik terhadap sistem politik mencapai titik puncaknya. Video-video di TikTok yang membandingkan kehidupan sederhana rakyat Nepal dengan gaya hidup mewah anak-anak politisi telah menjadi viral, memicu kemarahan dan rasa ketidakadilan yang meluas. Perbedaan mencolok antara kekayaan elit penguasa dan kemiskinan sebagian besar penduduk semakin mengobarkan api kemarahan. Bagi generasi muda, ini bukan sekadar skandal online; ini adalah simbol dari kegagalan sistem dalam mewujudkan keadilan dan pemerataan.
**Kepemimpinan yang Stagnan dan Ketakutan akan Hilangnya Hak**
Selama beberapa dekade, Nepal didominasi oleh para pemimpin yang dianggap gagal membawa perubahan signifikan. Sejak menjadi republik federal pada 2008, negara ini telah mengalami pergantian perdana menteri yang silih berganti, semuanya tanpa mampu menyelesaikan masa jabatan lima tahun penuh. Kesepakatan-kesepakatan di balik layar hanya memperkuat persepsi bahwa kelas politik tidak memahami realitas kehidupan sehari-hari rakyat.
Larangan media sosial, yang kemudian dianggap sebagai tindakan represif, justru menjadi titik kritis. Bagi generasi muda, yang telah menggunakan platform digital sebagai sarana ekspresi, berbagi informasi, dan membangun jaringan, larangan ini dianggap sebagai upaya untuk membungkam suara-suara kritis. Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Nepal pun memperingatkan bahwa larangan tersebut merusak prinsip-prinsip demokrasi. Surat kabar Kathmandu Post, yang kantornya dibakar oleh massa, mengatakan bahwa larangan tersebut telah menyentuh “saraf yang sensitif” di kalangan pemuda yang telah lama frustasi dengan buruknya sistem kesehatan dan pendidikan, korupsi, dan nepotisme.
**Ketidakstabilan Politik yang Kronis**
Terjepit di antara dua negara adikuasa, China dan India, Nepal telah berjuang untuk mencapai stabilitas politik yang konsisten. Sejak 2008, negara ini telah mengalami pergantian 14 pemerintahan, semuanya gagal menyelesaikan masa jabatan penuh. Sejarah modern Nepal diwarnai oleh pergolakan politik, mulai dari sistem monarki absolut hingga perang saudara yang menghancurkan. KP Sharma Oli sendiri, dengan berbagai periode jabatannya yang terpotong, menjadi simbol dari ketidakstabilan politik yang berkepanjangan.
**Kesimpulan:**
Protes besar-besaran di Nepal tidak hanya sekadar reaksi terhadap larangan media sosial, tetapi juga merupakan manifestasi dari kemarahan dan frustrasi generasi muda yang selama bertahun-tahun merasa terabaikan. Krisis ekonomi, korupsi yang merajalela, kepemimpinan yang stagnan, dan ketidakstabilan politik yang kronis telah menciptakan situasi yang meledak. Ke depan, pemerintah Nepal perlu melakukan reformasi yang substansial untuk mengatasi akar permasalahan ini dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mudanya. Kegagalan untuk melakukannya akan berujung pada lebih banyak lagi gejolak sosial dan politik.