## Gelombang Protes Mahasiswa: Legitimasi Pemerintahan Prabowo Subianto Dipertanyakan?
Aksi demonstrasi mahasiswa yang bertajuk “Indonesia Gelap” yang berlangsung di berbagai daerah telah mengguncang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Gelombang protes yang berlangsung hampir selama seminggu ini dinilai sejumlah pengamat sebagai tanda peringatan serius, bahkan menunjukkan tergerusnya legitimasi pemerintahan yang baru beberapa bulan berjalan. Berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat dan mengancam masa depan generasi muda, menjadi pemicu utama meluasnya aksi demonstrasi ini. Salah satu isu paling krusial yang disoroti adalah pemotongan anggaran di sejumlah sektor vital, khususnya pendidikan dan kesehatan.
**Pemotongan Anggaran Pendidikan: Suara Kecewaan dari Mahasiswa dan Rakyat**
Tya, seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang turut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi pada Senin, 17 Februari, mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam terhadap kebijakan pemerintah. Ia mengaku “muak” menyaksikan serangkaian keputusan yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat. “Muak aja sih melihat pemerintah terus-terusan bikin kebijakan yang seolah-olah tidak melibatkan pertimbangan ahli dan masyarakat. Jadi hasil kebijakannya justru menyulitkan rakyat,” tuturnya kepada BBC News Indonesia. Ia menambahkan, “Ada aja gebrakan baru yang konyol.”
Kekecewaan Tya dan banyak mahasiswa lainnya tertuju pada pemangkasan anggaran, yang disebut sebagai “efisiensi” oleh pemerintah. Namun, bagi Tya, efisiensi ini justru berdampak negatif, khususnya pada sektor pendidikan. Pemotongan anggaran di bidang pendidikan, menurutnya, akan mengancam kelanjutan studi bagi penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan penerima beasiswa luar negeri. Hal ini, menurut Tya, akan semakin mempersulit upaya memutus rantai kemiskinan, karena akses pendidikan tinggi yang layak merupakan hak setiap anak bangsa. “Karena banyak penerima KIPK terancam tidak bisa lanjut kuliah. Belum lagi penerima beasiswa luar negeri, mereka juga terancam terlantar karena tidak ada anggaran,” tegasnya.
Pemerintah, melalui mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Satryo Soemantri Brodjonegoro (sebelum digantikan Brian Yuliarto), membantah adanya pemotongan anggaran pendidikan dan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dalam keterangan resminya pada Rabu, 19 Februari, Satryo menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan tidak ada pengurangan alokasi anggaran untuk beasiswa dan KIP-K. Namun, bantahan tersebut tidak cukup meredam amarah dan kekecewaan mahasiswa dan masyarakat.
**Lebih dari Sekadar Efisiensi: Ketidakpercayaan Publik yang Mencuat**
Tya berpendapat bahwa kebijakan efisiensi pemerintah tidak masuk akal. Ia menilai, jika pemerintah benar-benar ingin menghemat anggaran, seharusnya pemangkasan dimulai dari pembentukan kabinet yang efektif dan ramping, bukan malah menambah jumlah pejabat atau staf khusus. Ia juga menyoroti anggaran beberapa kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti TNI dan Polri, yang tetap dipertahankan. “Kalau ada demo, polisi justru menggunakan peluru mereka untuk nembakin pelajar di Papua yang demo menolak program makan bergizi gratis. Padahal tugas mereka seharusnya melindungi rakyat,” ujarnya dengan nada kecewa.
Sentimen negatif terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran juga diungkapkan oleh para pengamat. Sosiolog dari UGM, Heru Nugroho, menilai aksi demonstrasi mahasiswa merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat yang seharusnya disuarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekecewaan tersebut meliputi tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sulitnya mencari pekerjaan, kenaikan harga kebutuhan pokok, masalah gas elpiji 3 kilogram, dan puncaknya adalah pemotongan anggaran di berbagai sektor krusial. “Pendidikan, kesehatan, itu semua mengenai hajat hidup orang banyak,” tegas Heru. Ia memperingatkan, jika kondisi ini terus berlanjut, rakyat akan bergabung dengan mahasiswa dalam aksi protes yang lebih besar.
Akademisi dan sejarawan Andi Achdian sependapat dengan Heru. Ia menilai legitimasi pemerintahan Prabowo Subianto sudah “oleng”, terutama di kalangan mahasiswa. Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah semakin menguat karena kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Andi bahkan memprediksi, aksi demonstrasi akan membesar jika tidak ada perubahan kebijakan dalam waktu dekat. Walaupun demikian, ia menekankan bahwa situasi ini masih jauh berbeda dengan krisis 1998, karena Prabowo masih mendapat dukungan kuat dari partai politik dan masyarakat kelas bawah, serta belum ada tantangan berarti dari kalangan elit.
**Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Implikasinya Terhadap Pemerintahan Prabowo**
Andi Achdian menjelaskan bahwa gerakan demonstrasi mahasiswa sejak tahun 1960-an hingga saat ini memiliki pijakan yang sama: mengoreksi kebijakan pemerintah yang tidak populer dan merugikan masyarakat. Ia mencatat beberapa aksi demonstrasi besar sepanjang sejarah Indonesia, mulai dari era Orde Baru hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang sebagian besar berhasil mengubah kebijakan pemerintah yang keliru. Dari peristiwa 1998 hingga demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja, gerakan mahasiswa terbukti mampu memberikan tekanan signifikan terhadap pemerintah.
Andi mengingatkan bahwa demonstrasi yang terjadi di empat bulan awal pemerintahan Prabowo bisa dikatakan berbahaya karena pondasi pemerintahan yang masih lemah. Ia menganalogikan pemerintahan Prabowo sebagai “raksasa berkaki lempung,” yang memiliki pondasi yang tidak kuat sebagai pemerintahan terpilih. Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk menanggapi tuntutan mahasiswa dengan serius agar situasi tidak semakin memburuk dan mencegah hilangnya dukungan publik.
**Kata Kunci:** Prabowo Subianto, demonstrasi mahasiswa, Indonesia Gelap, legitimasi pemerintahan, pemotongan anggaran, krisis kepercayaan, kebijakan pemerintah, gerakan mahasiswa, sejarah demonstrasi, efisiensi anggaran, pendidikan, kesehatan.